Halmahera Selatan, Fakta Nusantara.net— Derasnya aktivitas pertambangan di Halmahera Selatan kini berubah menjadi tragedi sosial. Puluhan metrik ton nikel keluar dari tanah Halsel setiap hari, namun masyarakat yang tinggal tepat di atas kekayaan itu hidup dalam kondisi yang memalukan: jalan hancur, pendidikan tertinggal, peluang kerja hampir nihil, dan lingkungan rusak tanpa belas kasihan.
Warga menyebut keadaan ini bukan lagi bentuk kelalaian, melainkan hasil permainan terstruktur yang melibatkan perusahaan tambang dan pemerintah—dari pusat hingga kabupaten—yang dianggap lebih sibuk mengurusi kepentingan investor dari pada nasib rakyatnya sendiri.
Pemerintah Pusat, Provinsi, hingga Kabupaten: Diduga Terjebak di Kantong Perusahaan
Kementerian ESDM dan KLHK dinilai seolah hanya melihat angka produksi dan ekspor. Warga menyebut pemerintah pusat terlalu lunak, bahkan diduga lebih mementingkan perut pengusaha tambang daripada kehidupan masyarakat penghasil.
Di level provinsi, Dinas ESDM Maluku Utara digambarkan hanya sebagai “mesin pengesah izin” tanpa taring pengawasan.
Sementara itu, Pemkab Halmahera Selatan dianggap bungkam tanpa perlawanan, bahkan ketika masyarakat menjerit akibat dampak tambang.

“Pemerintah cuma muncul kalau ada acara peresmian atau kunjungan perusahaan. Tapi ketika rakyat mengadu soal kerusakan lingkungan dan minimnya perhatian, mereka pura-pura tidak dengar,” ujar seorang warga Obi.
Rakyat Hanya Menonton Kekayaan Mereka Dijarah Hidup-Hidup
Tak sedikit warga yang mengeluarkan pernyataan pahit.
“Kami hanya lihat nikel keluar setiap hari. Puluhan metrik ton hilang ke luar negeri. Tapi kami tetap melarat. Jalan rusak, sekolah tak layak, air bersih susah. Lalu untuk siapa kekayaan ini?” keluh seorang ibu di Obi dengan mata berkaca-kaca.
Warga menilai perusahaan tambang besar seperti Harita Group hanya sibuk mengumbar catatan ekspor, sementara di sisi lain masyarakat hidup dari janji-janji kosong CSR dan lapangan pekerjaan yang tak jelas.
Pengamat Menggambarkan Pemerintah Kehilangan Keberpihakan
Para pengamat menilai pemerintah tidak hanya lalai, tetapi telah kehilangan wibawa di depan perusahaan tambang.
“Pemerintah tak lagi berdiri bersama rakyat. Mereka membiarkan tambang menguasai lahan, memotong bukit, merusak pesisir, tapi tidak memaksa perusahaan hadirkan perubahan signifikan bagi masyarakat,” tegas seorang analis kebijakan.
Ia menegaskan bahwa selama regulasi tidak ditegakkan keras, kekayaan tambang hanya akan memperkaya elite di Jakarta, provinsi, dan segelintir pejabat daerah.
CSR Gelap, Lapangan Kerja Minim, Lingkungan Hancur
Warga mempertanyakan ke mana aliran dana CSR yang setiap tahun diklaim besar oleh perusahaan. Bukan hanya itu, janji tenaga kerja lokal pun dinilai hanya formalitas.
“Di atas kertas kami didahulukan. Tapi kenyataannya, kami selalu nomor terakhir. Tenaga dari luar justru didatangkan banyak-banyak,” keluh pemuda setempat.
Akibatnya, masyarakat merasa seperti tamu tak diundang di tanah sendiri, sementara perusahaan meraup keuntungan miliaran rupiah setiap hari.
Rakyat Melawan: ‘Kekayaan Halsel Bukan Milik Para Penjaga Izin!’
Gelombang kemarahan masyarakat kini tidak lagi terbendung. Mereka menegaskan bahwa kekayaan alam Halmahera Selatan bukan milik pemerintah, bukan milik elite, bukan milik investor—melainkan hak seluruh penduduk Halsel yang lahir dan hidup di atas tanah itu.
“Kami tidak mau lagi dibohongi. Kami tidak mau hanya diberi debu tambang. Jangan jadikan kami penonton, sementara kekayaan kami diangkut keluar tanpa sisa,” kata seorang tokoh adat dengan nada meledak.
Pertanyaan Paling Menyakitkan: Apakah Pemerintah Berani Melawan, atau Sudah Menyerah?
Masyarakat Halsel kini tinggal berharap, meski harapan itu semakin tipis. Apakah pemerintah akan bangkit dan benar-benar memperjuangkan kepentingan warganya? Atau justru akan tetap menutup mata sambil melihat kekayaan daerah dijarah secara legal?
Sampai hari ini, pertanyaan itu menggantung—tajam, panas, dan menyakitkan.
Penulis Salman Sururi SH
Editor : Redaksi
